Catatan Ringan Lexi Mantiri
Pilpres 2019 telah usai. Makamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan. Gugatan kubu Pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Sandi ditolak. Komisi Pemilihan Umum (KPU) langsung mensahkan pasangan nomor urut 1 Joko Widodo dan Ma’aruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.
Persaingan di Pilpres 2019 ini harus diakui berjalan luar biasa ketat. Dibandingkan 2014, suhu politik meningkat tajam. Masyarakat pun terbelah. Kubu 01 dan kubu 02. Polarisasi di tengah masyarakat tak terelakan.
Kampanye hitam dan perang opini memperkeruh suasana. Ujaran kebencian dan hoax makin mempertajam perbedaan. Situasi itu tidak berakhir di hari pencoblosan. Pasca 17 April, ketidakpuasan kubu Prabowo-Sandi dilampiaskan lewat unjuk rasa yang nyaris anarkis. People power sempat dijadikan salah satu alternatif untuk merebut kekuasaan. Syukur aparat keamanan berhasil mencium dan menangkal skenario yang bisa berujung makar.
Setelah upaya hukum tak berhasil, mau tak mau Prabowo-Sandi harus mengakui kemenangan Jokowi-Amin. Kendati tak memberi ucapan selamat, Prabowo mengaku menghormati putusan Makamah Konstitusi. Sejak saat itu banyak pihak berharap Jokowi dan Prabowo termasuk pendukung masing-masing bisa rekonsiliasi.
Beberapa hari terakhir ini, pembicaraan soal rekonsiliasi makin hangat. Apalagi mantan jubir Prabowo-Sandi Dahnil Simanjuntak mengusulkan agar kepulangan Habieb Riziek Shihab (HRS) menjadi salah satu syarat rekonsiliasi Jokowi-Prabowo. Sebenarnya apa itu rekonsiliasi?
Rekonsiliasi, kata yang sulit didefinisikan secara eksplisit. Jika definitif bisa saja makna dari rekonsiliasi tereduksi. Tapi dewasa ini definisi yang diterima umum, rekonsiliasi adalah perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan.
Dengan demikian, rekonsiliasi diartikan sebagai sebuah peristiwa, proses dan hasil sekaligus serta pemulihan hubungan. Rekonsiliasi dimaknai sebagai suatu usaha untuk menyelesaikan konflik pada masa lalu sekaligus memperbaharui hubungan ke arah perdamaian dan hubungan yang lebih harmonis pada masa yang akan datang seperti yang dikatakan oleh ahli Melor dan Bretherton (2003, 39). Hal itu bisa terealisasi apabila terjadi perjumpaan antara kedua belah pihak yang berkonflik. Martin Buber dari buku I and Thou, menunjukkan bahwa perjumpaan yang sejati antara pribadi-pribadi akan muncul sesuatu yang baru yakni sebuah daya tenaga yang tidak terbelenggu di dalam dirinya dan juga tidak terpisah dari yang lain, tetapi berasal usul dalam kebersamaan mereka.
Sedangkan untuk sampai pada perjumpaan diperlukan mediasi. Kendati dibedakan konsiliator, mediator dan konsiliator adalah sosok yang bijaksana, paling tidak memiliki status yang sama dengan pihak yang berkonflik dan dipercayai kedua bela pihak (Duane Ruth-Hefflebower). Syarat mutlak yang dimiliki oleh mediator dan konsiliator ini yakni keterampilan dan kehandalan berkomunikasi.
Menurut banyak ahli, untuk bisa sampai pada tujuan rekonsiliasi yakni resolusi konflik dan perdamaian, harus juga terkandung unsur pemaafan atau pengampunan. Pemaafan secara individual atau pengampunan seperti dikatakan Geiko Muller-Fahrench. Ia juga menilai penting dan perlunya perantara yang bisa diterima oleh kedua pihak. Tapi perantara ini tidak sebatas pada orang, tapi juga berarti tindakan berupa kunjungan.
Kembali ke soal Pilpres 2019. Jika diandaikan pilpres adalah konflik dalam arti adanya perbedaan kepentingan antara kedua pihak. Tak hanya Jokowi dan Prabowo, tapi juga elit-elit politik. Dan lebih luas lagi konflik terjadi sampai di lapisan akar rumput. Dalam konteks ini, pasca pilpres dinilai relevan apabila terjadi rekonsiliasi.
Perjumpaan antara Jokowi dan Prabowo dianggap sebagai bentuk rekonsiliasi. Pertemuan kedua tokoh sentral tersebut dinilai akan berdampak positif bagi hubungan antar pendukung di tengah masyarakat.
Sebenarnya pertemuan Jokowi dan Prabowo, tidak memiliki kendala berarti. Pengalaman membuktikan. Pertemuan sudah pernah terjadi pasca Pilpres 2014. Keduanya saling berkunjung pasca hari H sampai pra dan pasca pelantikan.
Kunjungan Jokowi di Kebayoran Lama, kunjungan kr Hambalang, kunjungan Prabowo ke Istana Bogor. Dan pada 17 Oktober 2014, Jokowi ke Kertanegara dan beberapa hari kemudian Prabowo hadir saat pelantikan Jokowi sebagai presiden. Pertemuan-pertemuan yang dramatis.
Bagaimana usai Pilpres 2019? Tengok pernyataan Jokowi kala bertandang ke Sulawesi Utara. Saat dicecar soal rencana pertemuannya dengan Prabowo, Jokowi tak acuh. “Lebih baik jangan bahas itu. Tanya yang lain saja”, kilahnya. Entah mengapa Jokowi mengelak. Padahal lagi ramai-ramainya dibahas soal rencana pertemuan keduanya.
Jika dicermati sikap Jokowi tersebut, dari waktu ke waktu seperti mengalami perubahan. Pernyataan paling mutakhir saat Jokowi berada di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Saat ditanya kuli tinta, Jokowi balik bertanya. “Tanya ke Pak Prabowo, kapan ketemu Pak Jokowi”, tukasnya. Jawaban Jokowi ini menimbulkan tanya.
Jika menilik lebih jauh. Beberapa hari pasca pilpres, Jokowi sudah berinisiatif untuk bertemu dengan Prabowo. Luhut Panjaitan, kembali melakoni perannya. Menjadi mediator antara Jokowi dan Prabowo. Luhut yang dianggap berhasil menjadi penghubung usai Pilpres 2014, belum kali ini. Upaya untuk mempertemukan keduanya belum berhasil.
Entah apa yang menjadi penghambat atau. Penghubung lewat Luhut Panjaitan dianggap jaminan mutu. Luhut berkawan dekat dengan Prabowo. Pernah menjadi atasan-bawahan sekaligus kawan saat bertugas di satuan Baret Merah. Sedangkan Jusuf Kalla, wapres 2 periode ini, sosok yang dihormati Prabowo. Keduanya sudah menjalankan tugasnya.
Biasanya rekonsiliasi dari konflik sosial yang berujung kekerasan dan mengakibatkan korban, lebih sulit terwujud. Lantaran ada korban dan pelaku. Syaratnya mengharuskan pelaku meminta maaf dan korban memaafkan. Saat negosiasi itu sering juga muncul kompensasi seperti ganti rugi misalnya.
Sementara dalam kontestasi politik lebih pada konflik psikis. Dalam hal ini, siapakah yang jadi pelaku dan siapa yang jadi korban? Siapa yang harus meminta maaf dan pihak mana yang menerima maaf? Jika konflik itu dalam konteks pilpres, berarti ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah.
Sejatinya, pihak yang menang tidak membusungkan dada, dan pihak yang kalah tidak menundukkan kepala. Menang memang patut disyukuri, kalah juga harus disesali tapi dimaklumi. Itulah konsekuensi dari pesta demokrasi.
Sudah sewajarnya jika pihak yang menang berinisiatif untuk mengajak pihak yang kalah rekonsiliasi demi kepentingan nasional. Sepantasnya pula yang kalah memberi ucapan selamat bagi yang menang. Tapi itu tidak terjadi. Sepertinya kubu Prabowo, masih belum mampu dan mau menerima kekalahan. Buktinya, kendati sudah inkrah di MK, kubu Prabowo masih menempuh langkah hukum di MA yang notabene tidak mengurus soal sengketa pilpres. Lagian KPU sudah menetapkan Jokowi-Amin sebagai capres-cawapres terpilih.
Tanda-tanda rekonsialisasi tak bakalan berjalan mulus, sudah bisa terbaca sejak jauh hari. Langkah maju yang diambil Jokowi masih terganjal. Tawaran untuk bertemu lewat perantara tak jua mendapat kepastian.
Belakangan muncul syarat seperti telah tertera di atas. HRS minta dipulangkan dari Saudi Arabia. Sontak syarat ini langsung memantik reaksi dari pelbagai pihak. Apakah syarat ini sengaja diungkap ke permukaan karena punya motif dan tujuan tertentu? Walahualam. Kalau pun kepulangan HRS akan dijadikan syarat, bukankah lebih afdol bila hal itu didialogkan antara dua pihak yang akan bernegosiasi? Jika tidak menyertakan syarat itu, apakah rekonsialiasi tidak bisa terwujud? Atau memang tidak perlu rekonsiliasi? Waktu yang akan menjawab. Kita tunggu saja.
Terry